COVID-19: Force Majeure dalam Kontrak

Force Majeure dalam Kontrak

Oleh: Chaira Machmudya Salsabila, S.H.

“Pandemi COVID-19 dapat menjadi alasan penundaan atau pembatalan pelaksanaan kontrak dengan beberapa persyaratan.” 

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (“COVID-19”) mengakibatkan banyak sekali kegiatan ekonomi menjadi terganggu, dikarenakan kemampuan manusia untuk melakukan kontak fisik menjadi terbatas.

Pandemi COVID-19 banyak memakan korban dalam bentuk proyek-proyek berskala kecil hingga besar. Dari proyek pembangunan hingga konser musik, semua menjadi harus dibatalkan atau diundur waktu pelaksanaannya karena pandemi yang telah banyak memakan korban jiwa tersebut.

Salah satu contoh bagaimana pandemi mengakibatkan batalnya suatu pelaksanaan proyek atau acara adalah konser-konser musik yang dibatalkan dan ditunda pelaksanaannya karena pandemi.

Konser Head In The Clouds misalnya, yang menjanjikan akan menampilkan artis-artis Indonesia dan mancanegara seperti NIKI, Joji dan Rich Brian. Dimaksudkan untuk digelar pada 7 Maret 2020, konser ini malah ditunda tidak jauh-jauh sebelum Hari-H karena pandemi.

Begitu juga dengan penayangan film-film bioskop. Terhitung terdapat beberapa judul film pada tahun 2020 yang harus ditunda penayangannya dikarenakan upaya pemerintah untuk menanggulangi pandemi COVID-19, yang harus menutup ribuan cabang bioskop di seluruh Indonesia.

Belum lagi jika kita membicarakan kontrak-kontrak bisnis yang terhambat pelaksanaannya dikarenakan pandemi. Menurut data yang dikumpulkan dari seluruh Pengadilan Niaga di Indonesia, jumlah kasus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) yang diserahkan pada Pengadilan Niaga di Indonesia meningkat sepanjang tahun 2020 dikarenakan pandemi COVID-19.

Lantas, apa benar bahwa pandemi COVID-19 dapat menjadi pembenaran untuk tidak melaksanakan suatu perjanjian? Bagaimanakah dasar hukumnya?

Simak penjelasannya di bawah ini!

Baca Juga: Dampak COVID-19 bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Provinsi Bali.

Pengertian Force Majeure Menurut Undang-Undang Dan Pakar Hukum

Hukum di Indonesia mengakui konsep force majeure dalam hukum perjanjian dan kontrak melalui pasal 1244 serta 1245 dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) atau Burgerlijk Wetboek (“BW”). Pasal 1244 KUHPerdata berbunyi sebagai berikut:

“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya”

Sedangkan Pasal 1245 KUHPerdata berbunyi sebagai berikut:

“Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”

Meski dengan adanya kedua ketentuan tersebut di atas, KUHPerdata yang berlaku di Indonesia tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai pengertian dan ciri-ciri dari force majeure itu sendiri.

Apabila kita melihat pengertian dari ahli, R. Subekti mengartikan force majeure sebagai keadaan dimana debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya perjanjian disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak diduga, dan tidak dapat dicegah atau diperbuat apa-apa terhadapnya.

Baca Juga: Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU): Langkah Debitur Untuk Memperbaiki Financial Distress.

Jenis-Jenis Force Majeure 

Force Majeure dapat dibagi lagi ke dalam dua jenis lho Sobat!

Jenis yang pertama adalah force majeure absolut. Force Majeure jenis ini adalah suatu keadaan yang mengakibatkan debitur sama sekali tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur.

Contohnya adalah ketika sebuah mobil tidak dapat diantarkan ke rumah pembeli dikarenakan kendaraan yang membawa mobil tersebut mengalami kecelakaan di tengah perjalanan. Dalam kata lain, sebuah force majeure dapat dikatakan absolut apabila peristiwa tersebut mengakibatkan musnahnya objek suatu perjanjian.

Jenis force majeure yang kedua adalah force majeure relatif, dimana dalam jenis force majeure ini masih memungkinkan adanya pelaksanaan perjanjian namun disertai dengan pengorbanan yang sangat besar dan tidak seimbang.

Contoh dari force majeure jenis ini adalah ketika terdapat kenaikan biaya pengantaran barang objek perjanjian karena satu dan lain hal yang mengakibatkan kenaikan drastis dari harga objek perjanjian tersebut.

Hubungan Force Majeure Dengan Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 ditetapkan sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran COVID-19 (Perpres No. 12/2020”). Hal ini berarti bahwa COVID-19 dapat dinyatakan sebagai force majeure, dengan satu dan lain persyaratan.

Yang pertama, pandemi dapat dikategorikan sebagai force majeure apabila kedua belah pihak memang mencantumkan segala bentuk pandemi atau bencana nasional sebagai salah satu bentuk force majeure dalam klausul force majeure dalam kontrak.

Sebaliknya, jika pandemi atau bencana nasional tidak dikategorikan sebagai force majeure dalam klausul tersebut, maka pandemi COVID-19 tidak menjadi alasan untuk tidak melaksanakan isi perjanjian.

Lantas, bagaimana jika pandemi COVID-19 tidak terdapat dalam isi perjanjian sebagai salah satu bentuk force majeure? Maka ada perlunya bagi para pihak dalam suatu perjanjian untuk melaksanakan negosiasi ulang untuk perjanjian tersebut.

Demikian penjelasan singkat mengenai pandemi COVID-19 sebagai alasan atau pembenaran untuk tidak melaksanakan isi perjanjian atau kontrak.

Selaras Group menawarkan berbagai layanan menarik khusus untuk pembuatan dan peninjauan kontrak bisnis, lho! Segera kunjungi Selaras Group untuk mendapatkan penawaran menarik!

Sumber:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 

Andika Aditia. “Konser Head In The Clouds di Jakarta Ditunda Karena Virus Corona”. https://www.kompas.com/hype/read/2020/03/03/000805866/konser-head-in-the-clouds-di-jakarta-ditunda-karena-virus-corona. Diakses pada 29 November 2021.

Monavia Ayu Rizaty. “Jumlah Perkara PKPU Meningkat saat Pandemi Covid-19.” https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/08/26/jumlah-perkara-pkpu-meningkat-saat-pandemi-covid-19 Diakses pada 29 November 2021.

Baharudin Al Farisi. “Kaleidoskop 2020: Film-film yang Tertunda karena Covid-19.” https://www.kompas.com/hype/read/2020/12/13/075536566/kaleidoskop-2020-film-film-yang-tertunda-karena-pandemi-covid-19?page=all. Diakses pada 29 November 2021.

Muhammad Teguh Pangestu. “Covid-19 sebagai Alasan Force Majeure dalam Perjanjian dan Implikasinya terhadap Perjanjian”. https://law.uii.ac.id/blog/2020/06/17/covid-19-sebagai-alasan-force-majeure-dalam-perjanjian-dan-implikasinya-terhadap-perjanjian/. Diakses pada 29 November 2021.

Dona Budi Kharisma. “PANDEMI COVID-19 APAKAH FORCE MAJEURE?” Jurnal Rechtsvinding Online. https://www.rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/PANDEMI%20COVID19%20APAKAH%20FORCE%20MAJEURE%20.pdf. Diakses 29 November 2021.

Sumber Gambar:

www.pexels.com

Editor: Siti Faridah, S.H.

Leave a Replay

+6281558523132

(English, Arabic, Turkish)

+6281510118552

(Indonesian)